Indonesiainsideid, Jakarta - Penyelesian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, kian menjadi sorotan. Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Aktivis Kamisan: UU KKR Adalah Upaya Mengulur Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM - Indonesiainside.id
› Riset›Penyelesaian Kasus Pelanggaran... Diperlukan langkah berani dari pemerintah untuk menguatkan kepercayaan publik pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM termasuk tragedi Mei 1998. OlehYohanes Mega Hendarto 5 menit baca KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Warga menunggu datangnya armada Bus Transjakarta di Halte12 Mei Reformasi, Grogol, Jakarta, Minggu 6/5/2018. Penamaan halte yang diresmikan pada 2013 ini untuk mengenang empat mahasiswa yang gugur akibat terjangan peluru saat berunjukrasa menuntut reformasi di Kampus Universitas Trisakti, Jakarta pada 12 Mei Mei 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I-II, dan penghilangan orang secara paksa, adalah ibarat deretan “luka batin” yang menggores perjalanan sejarah bangsa. Meski semakin sayup dalam ingatan publik, tuntutan pemenuhan rasa keadilan masih menjadi hutang segenap pemangku kepentingan di negeri 23 tahun, publik tidak yakin pemerintah akan mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah mengubah wajah politik nasional tersebut. Lebih dari separuh responden menyatakan hal itu. Perkembangan sosial politik membuat makin sulit mewujudkan rasa keadilan yang selaras dan mencukupi bagi semua komponen yang terlibat peristiwa tersebut. Tak hanya berbenturan dengan kepentingan politik kontemporer, pemenuhan rasa keadilan bagi satu pihak bisa menjadi rasa ketidakadilan bagi kelompok atau pihak lain yang merasa dipersalahkan. Ada kekhawatiran, kondisi psikologis sosial masyarakat belum sepenuhnya siap untuk menilai dan mengambil sikap sebuah isu sensitif terkait SARA secara ambil contoh dari kasus seputar kerusuhan Mei 1998. Dari dua belas kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di tanah air, ada empat peristiwa yang terjadi menjelang reformasi Indonesia. Selain kerusuhan massa, penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa, peristiwa pemerkosaan warga etnis Tionghoa seringkali luput dari pemberitaan terjadi karena tragedi perkosaan saat huru hara cenderung tabu untuk diangkat kembali ke masyarakat, terutama oleh media massa. Padahal, hingga kini pun tragedi tersebut masih meninggalkan trauma dan luka yang sangat dalam bagi para korban dan keluarga SIHOMBING Puluhan ribu massa yang terdiri dari mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Jakarta, aktivis, tokoh masyarakat, artis, dosen dan berbagai kelompok profesi lainnya, Rabu 13/5/1998 siang, berbaur menjadi satu saat pemakaman dua jenazah mahasiswa Universitas Trisakti ”Pejuang Reformasi”, Elang Mulya Lesmana dan Heri Hartanto di di Tempat Pemakaman Umum TPU Tanah Kusir Jakarta tentang pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa, kerapkali berubah menjadi polemik yang menggeser inti kasus. Padahal berdasarkan laporan temuan TGPF peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, tindakan perkosaan massal terjadi saat kerusuhan 13-15 Mei seksual tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di Medan, Solo, Surabaya, Medan, dan Palembang. Setidaknya, ada 85 korban sejauh ini yang dapat diverifikasi sebagai korban pemerkosaan, pemerkosaan dengan penganiayaan, serta penyerangan dan pelecehan perjalanan selama ini, para penyintas kekerasan seksual Mei 1998 lebih banyak memilih bungkam karena trauma dan tidak ingin diingatkan kembali pada peristiwa memilukan itu. Menyadari peliknya permasalahan ini, pada Mei 2020 lalu Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK menggelar “Kampanye Recalling Memory Mei ’98”. Tujuannya, refleksi agar tragedi serupa tidak jajak pendapat, perhatian terhadap pemberitaan perkosaan warga etnis Tionghoa diikuti oleh 46,1 persen responden. Artinya, publik memerhatikan bagaimana media memberitakan terjadinya peristiwa itu sekalipun ada sejumlah pihak yang hak Tiga perempat responden sepakat bahwa peristiwa kekerasan saat kerusuhan Mei 1998 adalah pelanggaran HAM berat. Namun, bagian terbesar responden 42,7 persen menilai bahwa pemerintah belum tuntas menyelesaikan kasus tersebut. Sebesar 37,7 persen responden memandang bahwa selama ini hanya sebagian saja yang penyelesaian berupa pembentukan tim gabungan pencari fakta TGPF dan pengadilan HAM yang sudah dijalankan, tampaknya hanya memuaskan sebagian kecil responden saja 4,7 persen.Meski begitu, respon positif publik terhadap upaya penyelesaian hukum oleh pemerintah kini meningkat menjadi 37,7 persen jika dibandingkan dengan hasil jajak dua tahun lalu Kompas, 13 Mei 2019. Kala itu, hanya 19,6 persen responden saja yang menilai bahwa pemerintah sudah memenuhi pengusutan kasus Mei Presiden Jokowi menemui peserta “aksi kamisan” di Istana Negara pada 31 Mei 2018 juga menyiratkan adanya inisiatif dari pemerintah. Presiden Jokowi kemudian membentuk Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM Berat pada 2019 dan meminta Jaksa Agung untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada Desember 2020, Jaksa Agung membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM pada Maret 2021 lalu pemerintah membahas pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat UKP-PPHB. Dikhawatirkan, langkah ini menjadi upaya pemerintah untuk penyelesaian melalui mekanisme non-yudisial dan menghindari proses pengadilan HAM terhadap para SIHOMBING Aparat keamanan bersiaga di kawasan Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu 13/5/1998.Merujuk pada UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, para korban dan keluarga korban berhak mendapat perlindungan fisik dan mental, memperoleh kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi. Pemenuhan hak tersebut merupakan lanjutan dari PP Nomor 3 Tahun 2002. Sedangkan dalam PP Nomor 2 Tahun 2002, para saksi pun turut berhak mendapat perlindungan dan perahasiaan dari jajak pendapat Kompas, persoalan pemenuhan hak korban ini juga menjadi poin penting yang disorot. Lebih dari setengah responden justru menyatakan bahwa aspek keadilan menjadi pemenuhan utama hak korban dan keluarga korban yang seharusnya diupayakan pemerintah. Aspek keadilan ini utamanya adalah penuntasan melalui dengan jalur hukum atau pengadilan pemenuhan dari aspek keadilan, para responden turut memperhatikan hak korban dengan menyoroti hak-hak lain yang seharusnya diterima para korban dan keluarga korban. Sebanyak 16,8 persen responden berpendapat bahwa pemenuhan hak material seperti ganti rugi atau santunan dari negara perlu diberikan kepada para korban 13 persen responden melihat bahwa perlu juga memenuhi dari segi sosial, seperti pemerintah mengakui adanya peristiwa perkosaan massal kepada etnis Tionghoa saat huru hara yakinMeskipun pemerintah cenderung mengambil “langkah memutar” untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, keinginan publik untuk penuntasan melalui jalur yudisial tetaplah kokoh. Hal ini terlihat dari separuh lebih responden 56,3 persen, menyatakan bahwa pengadilan yudisial seharusnya menjadi prioritas utama para responden mencoba bersikap realistis terhadap langkah prioritas pemerintah, yakni pemberian santunan dan bantuan bagi keluarga korban 15,2 persen, memberikan pendampingan psikologis kepada korban 15,1 persen, dan meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban 10,4 persen.Sayangnya, lebih banyak publik yang tidak yakin bahwa pemerintah mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat Mei 1998 secara tuntas. Alasannya, tragedi Mei 1998 sudah terlalu lama, sebagian tersangka sudah meninggal dan sudah terjadinya sebagian peralihan generasi. Dalam jajak ini pun separuh proporsi responden tidak mengikuti pemberitaan kerusuhan Mei diperlukan langkah berani dari pemerintah untuk menguatkan kepercayaan publik pada penyelesaian kasus Mei 1998. Seiring dengan itu, pembentukan UKP-PPHB, pemenuhan hak-hak korban, serta langkah-langkah selanjutnya perlu terus dikawal. LITBANG KOMPASBaca juga Maaf, Negara Belum Hadir Sepenuhnya KabupatenKota Peduli HAM; Adukan Dugaan Pelanggaran HAM; Hubungi Kami; Search for: Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia. Menu Skip to content. Beranda; Tentang Kami. Profil Pejabat; Sejarah; Struktur Organisasi; Visi dan Misi Direktorat Jenderal HAM; Rencana Strategis; Unit Kerja. Sekretariat Direktorat Jenderal HAM.Aksi Kamisan di depan Istana Negara, untuk mendesak Presiden Jokowi serius menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Foto ANTARA KBR, Jakarta- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan YPKP 1965, terus mempertanyakan komitmen pemerintah menyelesaikan kasus tragedi 1965. Ketua YPKP 1965 Bedjo Untung menilai, selama tujuh tahun pemerintahan Jokowi upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu justru melemah dan cenderung jalan di tempat. "Jadi pertanyaan saya ada ketakutan apa? ada kekuatan politik apa? Sehingga Jokowi tidak pernah membuka peristiwa 65 secara direct. Saya dengan ini sangat kecewa karena janji Jokowi yang ingin menyelesaikan kasus pelanggaran berat secara bermartabat dan berkeadilan ternyata itu hanya janji kosong," kata Bedjo kepada KBR melalui sambungan telepon, Kamis 21/10/2021. Pengadilan HAM Ad Hoc Bedjo mengungkapkan, pada 2019 para korban sempat mendatangi Kejaksaan Agung untuk menyerahkan daftar dugaan kuburan masal. Itu dilakukan guna memperkuat bukti yang dibutuhkan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia UU Pengadilan HAM, pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usulan DPR RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Namun, dalam 2 tahun terakhir Kejaksaan Agung tidak pernah berkomunikasi dengan para korban tentang perkembangan kasus. Bahkan kata dia, Jokowi sebagai kepala negara, hingga kini tidak pernah secara terbuka bertemu dan berbicara kepada para korban. "Kemudian dengan Menko Polhukam saya sudah kirim surat untuk bisa bertemu berdialog untuk diselesaikan, juga belum ada. Kami korban 65 siap berdialog apa maunya korban," kata Bedjo. Bedjo berharap di sisa masa jabatan Presiden Jokowi kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa 65/66 dapat diselesaikan. Menurutnya, pemerintah dan kejaksaan cukup menjalankan rekomendasi Komnas HAM untuk membentuk pengadilan ad hoc. "Negara mau tidak mau harus menyelesaikan secara yudisial supaya para korban ada kepastian hukum dan mendapat hak-haknya," katanya. Kejelasan Sikap Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM mendorong pemerintah segera menentukan sikap dan kebijakan dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab menurut Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, selama ini penyelesaian kasus-kasus tersebut kerap berakhir tarik ulur antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Beka menyebut, rencana pemerintah yang akan membentuk tim khusus penyelesaian kasus HAM berat masa lalu lewat jalur non-yudisial juga belum sepenuhnya rampung. "Artinya secara konsep sudah jadi dan nama-nama yang akan mengisi gitu, katanya juga sudah mulai di-list begitu lah. Kami masih menunggu apakah memang ini dalam waktu dekat ini dikeluarkan menjadi kebijakan atau masih ada tarik ulur lagi," kata Beka kepada KBR melalui sambungan telepon, Kamis 21/10/2021. Beka Ulung Hapsara menambahkan, Komnas HAM tidak masuk ke dalam struktural tim tersebut. Kata dia, Komnas HAM hanya memberikan masukan kepada pemerintah jika dibutuhkan. Sebab tugas Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan kasus-kasus masa lalu sudah selesai, sesuai amanat undang-undang. "Secara kelembagaan dalam pengertian, tidak masuk ke tim. Komnas HAM kan secara undang-undang sudah selesai. Kami sudah melakukan penyelidikan, laporannya juga sudah final. Sekarang diserahkan kepada pemerintah, mau penyelesaiannya yudisial atau non-yudisial, ya kami serahkan kepada pemerintah," jelasnya. Tarik Ulur Penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM berat hingga kini belum juga menemui titik terang. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengaku, terus terjadi tarik ulur antara lembaganya dan Kejaksaan Agung, soal upaya penyelesaian belasan pelanggaran HAM berat itu. Kata dia, belum ada langkah konkret dari Kejaksaan Agung dalam menindaklanjuti kesepakatan penyelesaian kasus-kasus tersebut. Padahal kata dia, Komnas HAM sudah beberapa kali bertemu perwakilan pemerintah, salah satunya Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Menko Polhukam Mahfud MD. Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat 12 peristiwa pelanggaran HAM berat itu yakni penembakan misterius 1982 hingga 1985, peristiwa Talangsari Lampung 1989, peristiwa Trisakti, Semanggi 1 dan 2 pada 1998 hingga 1999. Kemudian kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa 1997 hingga 1998, peristiwa 1965 hingga 1966, kasus pembunuhan dukun santet 1999, peristiwa Wasior Wamena 2002 dan 2003. Lalu, peristiwa Paniai 2004, dan peristiwa di Aceh seperti Simpang KAA pada 1998, peristiwa Rumah Geudong pada era Daerah Operasi Militer DOM Aceh, dan Jambo Keupok pada 2003. Klaim Pemerintah Pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin mengklaim tak pernah berhenti mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM. Dalam laporan capaian kinerja 2 tahun Jokowi-Maruf yang dirilis Kantor Staf Presiden KSP, pemerintah mengklaim mengupayakan penyelesaian kasus secara bermartabat. Pemerintah ingin menuntaskan pelanggaran HAM tanpa mengabaikan hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial, serta budaya. KBR sudah mencoba menghubungi Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani dan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono. Namun, keduanya belum merespons permintaan wawancara dari KBR. Baca juga Terus Menagih JanjiPenyintas Sudah Laporkan Temuan 138 Titik Kuburan Massal Korban 1965 ke Komnas HAM Editor Sindu
JTEcZqk.